Minggu, 17 Juni 2018

Dua



Tinggal dua.
Saling bersandar, saling bergantung.
Jika yang satu 'melepaskan', apa jadinya yang satunya.

Begitu pun yang kudoakan.
Berdua, duduk bersebelahan menikmati ketupat kering bersama sisa opor yang ayam-ayamnya terlepas dari tulangnya akibat berkali-kali dipanaskan. Ya, bersebelahan. Berharap ketika bagian tubuh kita bersentuhan, pori-porimu mengeluarkan banyak informasi tentang pikiran-pikiranmu, tentang perasaanmu, lalu dalam sepersekian detik, informasi tentang dirimu masuk melalui jutaan pori-poriku, menyatu dengan darah dan dipompa menuju otak untuk kucerna hingga aku mampu memutuskan apakah informasi itu cukup kuat untuk dijadikan senjata perang dan terus maju ke depan, atau justru lebih lemah dari kain bendera putih tanda kemenyerahan.

Sementara kita masih duduk bersebelahan di meja makan bawah tangga. Di bahumu tertanam penyangga, di kakiku terdapat fondasi. Apabila kau berdiri lalu pergi, terbayang apa jadinya aku. Apabila aku beranjak lalu pergi, tak bisa kubayangkan apa jadinya dirimu. Betapa kita harus saling bergantung satu sama lain. Agar tidak ada yang mampu melepas. Agar tidak ada yang mau dilepas.

Meski ada beberapa malam kuterlalu takut untuk berdoa, menyadari betapa tidak pantasnya. Namun, tentu saja lebih banyak malam untuk meminta agar dapat bersandar, agar sampean mau bergantung sama saya.