Ternyata, langit dan laut punya garis pemisah yaa, batin saya ketika mengunjungi pantai di sekitar bandara untuk sejenak transit penerbangan ke negeri orang minggu lalu.
Saya selalu melihat, sebenarnya tidak hanya melihat atau mengangguk dengan “hmm, oyaya, aah” namun benar-benar optimis bahwa langit dan laut itu sebenarnya menyatu, entah di mana ujungnya, pokoknya menyatu, pikir saya dulu kalau ilmuwan kita saja yang belum mencapai sana, belum meneliti hal semacam itu, belum bisa menyimpulkan, apalagi mempublikasikannya.
Namun, kemarin, semakin saya melihat dari dekat, semakin terasa, kalau langit dan laut memang jauh terpisah yaa. Jauh, benar-benar jauh. Kenaifan saya runtuh seketika.
Sekarang, satu hal baru yang saya pahami, “separation is natural”. Sejak awal bumi tercipta, ada banyak hal yang secara alamiah memang harus terpisah, harus berjarak, harus jauh, harus tetap mengikuti kodratnya sebagai mahluk yang diciptakan.
Langit yang tinggi, di atas sana, menenangkan, mendamaikan, menghujani, terbuka memeluk seluruh isi bumi. Akan sangat wajar jika secara alamiah harus diberi garis pembatas dengan laut. Laut yang sangat mendasar, ombak yang menghempas-hempas, badai dimana-mana, berpagar batu karang, saking tertutupnya tidak banyak yang berhasil menjelajah.
Mungkin, begitulah kita, Mas. Tentu, panjenengan adalah langit, dan saya lautnya. Puluhan ribu jam, saya, si-paling-optimis, berasumsi bahwa kita menyatu. Kali pertama ngobrol, saya seperti seseorang di pinggir pantai, memandangi langit dan laut “pasti kita sudah ditakdirkan menyatu di satu titik, di depan sana, nanti, segera”, do’a memelas hati selalu dihadirkan setiap saat, setiap namamu melintas tersirat, lalu sudah pasti saya akan lari-lari kecil mencari langit, menerbangkan doa-doa seperti bunga dandelion yang tertiup udara hangat.
Tetapi, begitulah kita, Mas, seperti langit dan laut. Memang secara alamiah harus terpisah. Kita lahir dengan latar belakang berbeda. Kita mengakar dan tumbuh ke arah yang berbeda. Kita tidak difasilitasi semesta sebuah titik untuk bertemu, mengenggam erat, menyatu. Sederhananya, langit terlalu tinggi untuk diraih, terlalu jauh untuk direngkuh. Laut tidak mampu untuk itu.
Langit mendadak mendung, ombak lautan mencakar-cakar, e-Mail masuk dari maskapai mengingatkan waktu penerbangan sebentar lagi. Saya beranjak dari pantai, bersiap menuju bandara. "Saya pamit yaa, Mas", satu-satunya kalimat ungkapan hati dari tepi pantai di sebuah negara sepi penduduk, yang sangat ingin saya tinggali, kalih panjenengan.