Jumat, 17 Maret 2023

Separation is Natural

Ternyata, langit dan laut punya garis pemisah yaa, batin saya ketika mengunjungi pantai di sekitar bandara untuk sejenak transit penerbangan ke negeri orang minggu lalu.

Saya selalu melihat, sebenarnya tidak hanya melihat atau mengangguk dengan “hmm, oyaya, aah” namun benar-benar optimis bahwa langit dan laut itu sebenarnya menyatu, entah di mana ujungnya, pokoknya menyatu, pikir saya dulu kalau ilmuwan kita saja yang belum mencapai sana, belum meneliti hal semacam itu, belum bisa menyimpulkan, apalagi mempublikasikannya. 


Namun, kemarin, semakin saya melihat dari dekat, semakin terasa, kalau langit dan laut memang jauh terpisah yaa. Jauh, benar-benar jauh. Kenaifan saya runtuh seketika.


Sekarang, satu hal baru yang saya pahami, “separation is natural”. Sejak awal bumi tercipta, ada banyak hal yang secara alamiah memang harus terpisah, harus berjarak, harus jauh, harus tetap mengikuti kodratnya sebagai mahluk yang diciptakan. 


Langit yang tinggi, di atas sana, menenangkan, mendamaikan, menghujani, terbuka memeluk seluruh isi bumi. Akan sangat wajar jika secara alamiah harus diberi garis pembatas dengan laut. Laut yang sangat mendasar, ombak yang menghempas-hempas, badai dimana-mana, berpagar batu karang, saking tertutupnya tidak banyak yang berhasil menjelajah.




Mungkin, begitulah kita, Mas. Tentu, panjenengan adalah langit, dan saya lautnya. Puluhan ribu jam, saya, si-paling-optimis, berasumsi bahwa kita menyatu. Kali pertama ngobrol, saya seperti seseorang di pinggir pantai, memandangi langit dan laut “pasti kita sudah ditakdirkan menyatu di satu titik, di depan sana, nanti, segera”, do’a memelas hati selalu dihadirkan setiap saat, setiap namamu melintas tersirat, lalu sudah pasti saya akan lari-lari kecil mencari langit, menerbangkan doa-doa seperti bunga dandelion yang tertiup udara hangat.


Tetapi, begitulah kita, Mas, seperti langit dan laut. Memang secara alamiah harus terpisah. Kita lahir dengan latar belakang berbeda. Kita mengakar dan tumbuh ke arah yang berbeda. Kita tidak difasilitasi semesta sebuah titik untuk bertemu, mengenggam erat, menyatu. Sederhananya, langit terlalu tinggi untuk diraih, terlalu jauh untuk direngkuh. Laut tidak mampu untuk itu.


Langit mendadak mendung, ombak lautan mencakar-cakar, e-Mail masuk dari maskapai mengingatkan waktu penerbangan sebentar lagi. Saya beranjak dari pantai, bersiap menuju bandara. "Saya pamit yaa, Mas", satu-satunya kalimat ungkapan hati dari tepi pantai di sebuah negara sepi penduduk, yang sangat ingin saya tinggali, kalih panjenengan.

Jumat, 09 Desember 2022

Hari dimana Semua Berhenti

Saya punya daftar hari-hari yang sangat saya takuti, hari-hari yang saya harapkan tidak akan pernah tiba, tidak akan pernah bersinggungan dengan hidup saya. Salah satunya adalah hari pernikahanmu. Karena saya tau, sejak awal saya tidak akan pernah menjadi bagian dari hari pernikahanmu. 

Sampai siang hari yang sangat panas dan gersang itu tiba. Suara blender dari jus strawberry sempat mengaburkan satu pesan masuk. Tidak lama, masih berdiri di kasir, belum membayar jus strawberry yang hampir jadi, saya lihat ada foto kontak yang saya tunggu-tunggu muncul di layar handphone. Tentu saja itu pesanmu! Hati saya membuncah kesenangan, tapi ada satu ruang di sana yang mengingatkan, bisa jadi ini bukan hal yang menggembirakan untuk saya. 
 
"Salam... tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan kami mengundang Saudari untuk menghadiri acara kami..." kalimat itu yang saya baca pertama kali. Berhenti. Semuanya berhenti. Suara blender jus, berhenti. Kasir yang mau memberi kembalian, berhenti. Pancuran air tempat mencuci buah, berhenti. Suara kendaraan dan klakson di jalan raya, berhenti. Udara yang berisik, berhenti. Ranting-ranting pohon tidak lagi bergesekkan, mereka berhenti. Matahari yang pamer kemampuannya sejak pagi, juga ikut berhenti. Waktu, berhenti. Bumi, berhenti. Badan saya berhenti, kaku sekujur tubuh, ada literan air mata tertahan, berhenti. 
 
Berhenti adalah suatu tanda proses penolakkan, pergolakkan. Seperti buruh yang tidak terpenuhi haknya memilih berhenti bekerja, seperti orang-orang yang mencari keadilan memilih berhenti di sepanjang jalan. Saya menolak dan masih berusaha mengelak, tidak, bukan hari ini, tolong jangan hari ini. Saya memohon sejadi-jadinya. Masih banyak rindu yang belum sampai kepadamu. Ada cinta yang lebih luas dari langit yang harus kamu terima.  
 
Apa saya harus putar arah, ambil jalan lain, agar tidak berpapasan dengan hari ini? Apa yang harus saya lakukan agar hari ini tidak pernah terjadi? Atau saya harus sembunyi agar tidak bisa ditemukan oleh hari ini? Saya tidak mampu mengubah garis takdir. Mobil saya berhenti di hutan tepi kota. Saya biarkan semua yang berhenti untuk bergerak kembali. Air mata, marah, kecewa, klakson mobil juga ikut berteriak pilu. Sinar matahari dan pohon-pohon merunduk, melihat saya, nanar, kasihan. Sebaliknya, saya melihat semuanya dengan pandangan buram, air mata sudah tidak mampu ditahan. Lagi-lagi kita semua tidak punya kekuatan untuk tidak bertemu dengan apa yang sudah ditakdirkan, ya kan?
 
Di hari dimana semua berhenti, saya harapkan cinta dan rindu saya kepadamu ikut berhenti. Tapi, ternyata tidak. 
 
 
Pesanmu masih terbuka sejak siang hari 4 November 2022, pesan yang tidak akan pernah saya balas, undangan yang tidak akan pernah saya hadiri.

Jumat, 26 Agustus 2022

Doa Saya, Semoga Saya Tidak Pernah Pikun

"Siang ini bisa kita ketemu dan ngobrol?" Pesan ini sempat membuat saya membeku 8 menit, yang disusul pesan masuk baru lagi. "Maaf mendadak, tempatnya sampean yang tentukan ya:)". "Iya, kabarin kalau sudah perjalanan, nanti bakda jum'atan sekalian aja:)". Saya senyam senyum sambil pilah pilih baju. 
 
Menjelang sore, dia baru sampai. Saya pilih tempat makan di tengah kota dengan banyak tumbuhan dan taman, sejuk tempat ini. Bersama manusia super-sejuk. Saya makan Selat Solo dan dia pilih Capcay, banyak sayuran, itu alasan dia. Yaa kalau saya jelas tidak punya alasan, asal tunjuk buku menu saja, karena dia makin membuat saya membeku. 
 
Djajanti Kitchen & Coffee: 
Sampai sekarang, saya belum punya nyali untuk sekedar lewat di sekitar sini.
 
Dia banyak bercerita, ibunya, keluarganya, pendidikannya, sampai dia yang dijauhi beberapa orang karena prinsipnya. Di setiap ceritanya selalu saya melihat cintanya yang menggebu kepada Tuhan. Saya -sang pembicara ulung ini- memutuskan menjadi pendengar dan perekam, sekaligus pengagumnya.
 
Detik itu, saya berdoa "Semoga saya tidak pernah pikun, semoga saya tidak pernah lupakan dia". Dari sekian banyak pilihan untuk mengajaknya berfoto atau justru memfotonya diam-diam sebagai kenangan, saya memilih untuk mengabadikannya di dalam ingatan saya, sedalam apa yang mampu ditangkap oleh indra.
 
Betapa seluruh indra saya paksa bekerja maksimal selagi duduk berhadapan. Aroma tubuhnya, wewangian kayu bercampur dengan aroma matahari, mengingatkan saya dengan ciri khas hutan tropis, rindang banyak pohon dan sesekali muncul matahari dari balik dahan. Suaranya berat, nafasnya berat seperti suara planet di luar angkasa yang berhasil direkam oleh NASA. Kulitnya coklat tua -sangat, bahkan cenderung hitam, nampak sedikit kasar, pori-porinya lebar, ada warna belang juga di pergelangan tangannya, menjadi bukti kisahnya sebagai lelaki desa 30an tahun yang suka berkebun, ke sawah, dan melakukan berbagai aktivitas luar rumah lainnya. Rambutnya bergelombang, lucu sekali kalau basah karena keringat. Alisnya tebal. Dia memelihara jenggot, sangat lebat. Giginya renggang-renggang, besar-besar dan putih jelas karena dia bukan perokok. Tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk saya tanpa protes ini itu. Dia pakai flanel kotak-kotak coklat, celana kain coklat, sepatu converse coklat -agak buluk dengan sedikit jahitan tangan di ujung sepatunya, sambil membawa tas hitam.
 
Detik ini dan setiap detik, saya semakin takut pikun. Saya berdoa lagi, diulang-ulang lagi, "Semoga saya tidak pernah pikun. Saya takut kalau sampai tiba waktunya semua detail kecil pertemuan kami kabur dari ingatan saya. Saya takut tidak bisa lagi mengingat seperti apa wanginya, suaranya, nafasnya, warna kulitnya, rambut, gigi, kedua matanya, senyumnya. Saya takut tidak mampu lagi mengingat dia dan semua getar di dada. Saya takut dia mati di dalam pikiran saya."
 
Nanti... 30 - 50 tahun lagi, saya masih mau mengingatnya -lelaki yang menempuh 43 km 1 jam 21 menit dengan motor warna biru untuk menemui saya- melalui rekaman indra di tubuh saya, yang hasil rekamannya disimpan dalam memori ingatan. Dan saya mau dia selalu hidup dalam ingatan saya, semampu saya mengingatnya dan detail-detail kecil hari itu tentang dia.







Semarang, 6 bulan setelah pertemuan pertama itu, namanya masih menjadi yang pertama saya cari di antara daftar kawan-kawan yang melihat stories media sosial saya.

Kamis, 26 Agustus 2021

Memelihara Kupu-Kupu

Aku punya kerabat jauh, jauh sekali sepertinya sampai aku sulit menjelaskan hubungan kami berasal dari siapa yang ditarik dengan garis keturnan yang mana. Dia sangat terkenal sebagai peternak kupu-kupu. Suatu kali, aku berkunjung ke sana. Melihat rumah kayu jati besarnya, kendaraan bagusnya, meja makan berbentuk lingkaran yang penuh makanan, kolam renang dengan tegel biru dan air yang jernih, halaman rumput luas, kebun kecilnya dengan pohon-pohon yang tidak pernah berhenti berbuah, apalagi disana udara dan anginnya sejuk semilir khas pedesaan di kaki gunung. Dia seperti sudah punya segalanya, dia seperti bisa melakukan apapun, kecuali bahagia.

Dia mengajakku berkeliling, sampai pada tepat jantung rumahnya, ada rumah kaca berisi banyak kupu-kupu. Besar sekali, bisa dibayangkan bangunan ini hampir seluas lapangan bola dikelilingi dinding kaca dan penuh dengan kupu-kupu cantik warna-warni. Pantas seluruh kota berbisik-bisik membicarakannya. “Kenapa sih dia sampai harus beternak kupu-kupu sebanyak itu?” “Apa dia ga pernah kepikiran buat melepaskan kupu-kupunya sedikit demi sedikit?” “Kupu-kupu itu lepas juga dia ga akan rugi, toh udah punya semuanya” “Ah udah lah, kalau rumah kacanya retak kan dia juga yang bingung” “Buat apa juga beternak banyak kupu-kupu kalau tidak bahagia”.

Rasanya belakangan ini ‘tertawa’ menjadi kata tabu untuk diucapkan di hadapannya. Bahkan, kabar kemurungannya sudah tersebar sampai kota sebelah. Orang-orang berkali sudah mengingatkan. Memang sih, satu atau dua kupu-kupu nampak indah, tapi kalau sudah bertahun-tahun dipelihara dan hampir membuat meledak rumah kaca ya jelas lah dia yang egois itu sekarang tidak tau harus bagaimana.

Aku, yang juga memelihara kupu-kupu di dalam dada, juga tidak tau harus bagaimana.

Berawal dari hari itu, melihatmu sekilas dan tersenyum, satu kupu-kupu tumbuh di perutku. Sampai di rumah aku lanjut cari tau tentangmu pakai handphone Blackberry yang sinyalnya mentok di Edge, lalu satu kupu-kupu tumbuh lagi. Besoknya, aku berangkat pakai parfum yang banyak sekali, di jalan membuat skenario harus menyapamu pakai bahasa apa ya hmm, dan tidak terasa belasan kupu-kupu tumbuh sembari aku menunggumu lewat di koridor pagi itu. Semakin lama tau, semakin banyak oku memelihara kupu-kupu dari perut yang berterbangan sampai menggelitik dada. Bikin senyam-senyum, geli. Iya, mencintaimu terasa memelihara banyak kupu-kupu di dalam dada. Menahun, terus aku pelihara.

“Kenapa sih kamu pelihara kupu-kupu sebanyak itu di dadamu, sudah bertahun-tahun loh?” “Pernah kepikiran ga sih buat ngelepasin satu per satu kupu-kupu itu?” — aku yang egois ini juga tidak tau sekarang harus bagaimana.

You made butterflies grow in my lungs, even though they are beautiful… I can’t breath.


Minggu, 13 Desember 2020

Waktu

 



Benar ngga sih si- mesin waktu itu? Apa iya ada time traveler? Kemarin lihat di berita ada Manusia Futuristik dari 2030 lengkap dengan gadget, pakaian, dan gaya milenium-nya yang tertangkap kamera sekitar tahun '90an. Wow. Kalau benar, berarti manusia itu mundur lebih dari 30 tahun. Dan, kalau benar lagi, saya juga mau nebeng, deh, hehe.

Izin numpang si- mesin waktu. Saya tunggu di 2020 ini untuk mundur, sebentar kok, tidak sampai 30 atau 50 tahun ke belakang, cuma 8 tahun yang sudah lewat saja, hehe iya saya mau naik mesin waktu sampai 2012. 

Saya mau berhenti sebelum tahun 2012. I wish I never met you. Saya ndak mau bertemu njenengan.

Kamu membuat saya memusuhi waktu. Mulai dari uring-uringan sendiri, kenapa sih waktu itu harus bertemu, harus sempat kenal, kenapa juga sih waktu bahagiamu selalu diwujudkan melalui senyuman pakai bonus kedua matamu yang berbinar pula, huh, ya jelas lah saya jatuh cinta sejatuh jatuhnya pada pandangan pertama.

Berkali-kali saya mengutuk waktu. Bisa tidak sih, si-waktu tak perlu lah tepat-tepat banget, agak lambat atau sedikit lebih cepat juga tak apa, supaya sore yang melelahkan itu saya tidak perlu melihatmu. Kamu yang berdiri mematung bermandikan cahaya matahari -hampir- tenggelam dan saya yang cuma bisa senyam senyum. Kacau nih kalau waktu dan semesta sudah kompak begini. Saya semakin sayang kamu.

Meski daripada mengutuk, saya tetap lebih sering menangisi waktu. Memohon sejadi-jadinya untuk mengobrol panjang denganmu sekali lagi. Oh tidak, permohonan itu terlalu sulit. Baik, cukup bertemu duduk berdua, atau cukup berpapasan kalau begitu. Dan terus terjadi negosiasi antara saya dan waktu. Sampai pada akhirnya saya yang mengalah, ya paling tidak biarkan saya melihat kamu dari jauh juga tidak apa, tanpa menyapa tanpa berbicara, hanya sebatas punggungmu pun akan membuat saya jejingkrakan semingguan.

Sungguh, saya ingin berdamai dengan waktu. Sungguh, satu-satunya cara adalah pergi dengan mesin waktu agar tidak pernah bertemu kamu. Saya tidak mau bertemu kamu di penggalan waktu manapun, tidak hanya di 2012, tidak hanya di 2030. Karena di kehidupan selain ini pun, jika waktu membuat kita bertemu, toh saya juga tidak bisa janji untuk tidak merayakan dirimu. He-he.