What if, there are no 'what ifs'?
Bagaimana jika tidak perlu ada ribuan pertanyaan di kepala yang diawali dengan 'bagaimana jika'?
Bagaimana jika ternyata masih mengidamkan wanita dengan kelas sosial yang sama. Bagaimana jika pemikirannya masih tetap saja memandang saya dengan stereotip yang sama.
Bagaimana jika ribuan kabel-kabel transparan di planet ini yang saya rajut tidak pernah terhubung kepada jiwamu. Saya selalu percaya setiap membisikkan namamu pada semesta, pada angin yang berhembus yang menggerakkan ranting pohon, di atas tanah dengan getaran yang sama, ketika matahari setengah tenggelam, saat itu seharusnya ribuan kabel transparan terhubung, menguat, menggetarkan. Namun, bagaimana jika di tengah jalan ribuan kabel transparan itu terputus, atau kusut karena penerima tak ingin menampung besar frekuensi yang saya kirim.
Bagaimana jika jiwa kita sudah pernah bertemu di kehidupan sebelum ini. Kehidupan yang jauh berasal dari tahun dan waktu yang belum di-angka-kan seperti sekarang. Kehidupan yang bisa jadi lebih kompleks daripada sekarang dan kita adalah reinkarnasi dari sepasang ikan dimana salah satunya terbawa arus sungai yang deras dan yang satunya masih saja setia menunggu di sebuah pertemuan dua arus sungai. Atau justru, kita adalah jelmaan matahari dan bunga matahari, ketika yang satu pergi terbenam, yang satu lagi tak ada kemampuan untuk mengejar. Bagaimana jika di kehidupan mana pun, jiwa kita bukan untuk menjadi satu utuh.
Bagaimana jika setiap getar rindu di hati menyebabkan hujan guntur dan gelombang pasang di samudra Hindia. Warga pesisir, deretan pohon kelapa, dan triliunan makhluk hidup di sana akan bertanya-tanya. Mengapa matahari tidak pernah terbit. Mengapa sedikitpun laut tak pernah surut. Mengapa sehari-hari hanya menyaksikan hujan guntur dan gelombang pasang. Maka, saya tidak akan pernah menyesal telah merindumu setiap hari.
Bagaimana jika semesta tidak pernah mendukung. Bagaimana jika pepohonan, gunung, hutan rimba, laut tidak mau ikut serta membantu saya menuju dirimu. Bagaimana jika setiap saya maju satu langkah, njenengan justru mundur dua langkah, Pak?
Bagaimana jika tidak perlu ada 'bagaimana jika'? Tidak, saya tidak setuju.
Biar saja semua pertanyaan 'bagaimana jika' ini tumbuh berkembang memenuhi kepala saya, sebagaimana saya mengizinkan diri saya mengkhawatirkan dirimu lebih banyak lagi di waktu yang lebih lama lagi.
Bagaimana jika ternyata masih mengidamkan wanita dengan kelas sosial yang sama. Bagaimana jika pemikirannya masih tetap saja memandang saya dengan stereotip yang sama.
Bagaimana jika ribuan kabel-kabel transparan di planet ini yang saya rajut tidak pernah terhubung kepada jiwamu. Saya selalu percaya setiap membisikkan namamu pada semesta, pada angin yang berhembus yang menggerakkan ranting pohon, di atas tanah dengan getaran yang sama, ketika matahari setengah tenggelam, saat itu seharusnya ribuan kabel transparan terhubung, menguat, menggetarkan. Namun, bagaimana jika di tengah jalan ribuan kabel transparan itu terputus, atau kusut karena penerima tak ingin menampung besar frekuensi yang saya kirim.
Bagaimana jika jiwa kita sudah pernah bertemu di kehidupan sebelum ini. Kehidupan yang jauh berasal dari tahun dan waktu yang belum di-angka-kan seperti sekarang. Kehidupan yang bisa jadi lebih kompleks daripada sekarang dan kita adalah reinkarnasi dari sepasang ikan dimana salah satunya terbawa arus sungai yang deras dan yang satunya masih saja setia menunggu di sebuah pertemuan dua arus sungai. Atau justru, kita adalah jelmaan matahari dan bunga matahari, ketika yang satu pergi terbenam, yang satu lagi tak ada kemampuan untuk mengejar. Bagaimana jika di kehidupan mana pun, jiwa kita bukan untuk menjadi satu utuh.
Bagaimana jika setiap getar rindu di hati menyebabkan hujan guntur dan gelombang pasang di samudra Hindia. Warga pesisir, deretan pohon kelapa, dan triliunan makhluk hidup di sana akan bertanya-tanya. Mengapa matahari tidak pernah terbit. Mengapa sedikitpun laut tak pernah surut. Mengapa sehari-hari hanya menyaksikan hujan guntur dan gelombang pasang. Maka, saya tidak akan pernah menyesal telah merindumu setiap hari.
Bagaimana jika semesta tidak pernah mendukung. Bagaimana jika pepohonan, gunung, hutan rimba, laut tidak mau ikut serta membantu saya menuju dirimu. Bagaimana jika setiap saya maju satu langkah, njenengan justru mundur dua langkah, Pak?
Bagaimana jika tidak perlu ada 'bagaimana jika'? Tidak, saya tidak setuju.
Biar saja semua pertanyaan 'bagaimana jika' ini tumbuh berkembang memenuhi kepala saya, sebagaimana saya mengizinkan diri saya mengkhawatirkan dirimu lebih banyak lagi di waktu yang lebih lama lagi.
Semarang, 27 April 2019
Selalu merindu.