"Siang ini bisa kita ketemu dan ngobrol?" Pesan ini sempat membuat saya membeku 8 menit, yang disusul pesan masuk baru lagi. "Maaf mendadak, tempatnya sampean yang tentukan ya:)". "Iya, kabarin kalau sudah perjalanan, nanti bakda jum'atan sekalian aja:)". Saya senyam senyum sambil pilah pilih baju.
Menjelang sore, dia baru sampai. Saya pilih tempat makan di tengah kota dengan banyak tumbuhan dan taman, sejuk tempat ini. Bersama manusia super-sejuk. Saya makan Selat Solo dan dia pilih Capcay, banyak sayuran, itu alasan dia. Yaa kalau saya jelas tidak punya alasan, asal tunjuk buku menu saja, karena dia makin membuat saya membeku.
Djajanti Kitchen & Coffee:
Sampai sekarang, saya belum punya nyali untuk sekedar lewat di sekitar sini.
Dia banyak bercerita, ibunya, keluarganya, pendidikannya, sampai dia yang dijauhi beberapa orang karena prinsipnya. Di setiap ceritanya selalu saya melihat cintanya yang menggebu kepada Tuhan. Saya -sang pembicara ulung ini- memutuskan menjadi pendengar dan perekam, sekaligus pengagumnya.
Detik itu, saya berdoa "Semoga saya tidak pernah pikun, semoga saya tidak pernah lupakan dia". Dari sekian banyak pilihan untuk mengajaknya berfoto atau justru memfotonya diam-diam sebagai kenangan, saya memilih untuk mengabadikannya di dalam ingatan saya, sedalam apa yang mampu ditangkap oleh indra.
Betapa seluruh indra saya paksa bekerja maksimal selagi duduk berhadapan. Aroma tubuhnya, wewangian kayu bercampur dengan aroma matahari, mengingatkan saya dengan ciri khas hutan tropis, rindang banyak pohon dan sesekali muncul matahari dari balik dahan. Suaranya berat, nafasnya berat seperti suara planet di luar angkasa yang berhasil direkam oleh NASA. Kulitnya coklat tua -sangat, bahkan cenderung hitam, nampak sedikit kasar, pori-porinya lebar, ada warna belang juga di pergelangan tangannya, menjadi bukti kisahnya sebagai lelaki desa 30an tahun yang suka berkebun, ke sawah, dan melakukan berbagai aktivitas luar rumah lainnya. Rambutnya bergelombang, lucu sekali kalau basah karena keringat. Alisnya tebal. Dia memelihara jenggot, sangat lebat. Giginya renggang-renggang, besar-besar dan putih jelas karena dia bukan perokok. Tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk saya tanpa protes ini itu. Dia pakai flanel kotak-kotak coklat, celana kain coklat, sepatu converse coklat -agak buluk dengan sedikit jahitan tangan di ujung sepatunya, sambil membawa tas hitam.
Detik ini dan setiap detik, saya semakin takut pikun. Saya berdoa lagi, diulang-ulang lagi, "Semoga saya tidak pernah pikun. Saya takut kalau sampai tiba waktunya semua detail kecil pertemuan kami kabur dari ingatan saya. Saya takut tidak bisa lagi mengingat seperti apa wanginya, suaranya, nafasnya, warna kulitnya, rambut, gigi, kedua matanya, senyumnya. Saya takut tidak mampu lagi mengingat dia dan semua getar di dada. Saya takut dia mati di dalam pikiran saya."
Nanti... 30 - 50 tahun lagi, saya masih mau mengingatnya -lelaki yang menempuh 43 km 1 jam 21 menit dengan motor warna biru untuk menemui saya- melalui rekaman indra di tubuh saya, yang hasil rekamannya disimpan dalam memori ingatan. Dan saya mau dia selalu hidup dalam ingatan saya, semampu saya mengingatnya dan detail-detail kecil hari itu tentang dia.
Semarang, 6 bulan setelah pertemuan pertama itu, namanya masih menjadi yang pertama saya cari di antara daftar kawan-kawan yang melihat stories media sosial saya.