
Cerita tentang masa lalu yang ada di pundak ku, yang selama ini membuatku kesulitan dan keberatan setiap kali lari dalam mata pelajaran olahraga. Cerita tentang keadaanku sekarang yang membebani otak dan hatiku sekaligus, sampai terkadang aku bingung, harus mendahulukan perasaan ataukah logika. Juga masa depan, yang berpegang erat pada pergelangan kaki ku, yang mendorongku untuk lari dan berfikir lebih cepat daripada ini, yang membuatku merasa terlalu ambisius.
Kau pasti lebih mengerti dari aku kan, Tuhan? Meskipun aku yang punya hidupku sendiri, tapi jujur, aku 'nol' dalam mengendalikannya, bahkan aku tidak mengerti harus bagaimana. Aku terlalu bodoh untuk sekedar memikirkan harus bernafas dengan lubang hidung kanan ku atau lubang hidung kiri ku. Bahkan untuk melangkah dengan kaki kanan atau kaki kiri duluan, aku masih bingung. Bimbing aku, Tuhan, agar aku tidak salah melangkah, agar tidak boros bernafas, agar bisa menyeimbangkan antara logika dan perasaanku.
Burulah kemari, Tuhan. Airmataku sudah di ekor mata, cerita panjangku sudah diujung bibir, bahkan ingusku sudah diujung lubang hidung, mereka yang sedang siap-siap untuk keluar bersamaan ketika nanti aku berbagi rahasia ku yang...begitulah. Tapi Tuhan harus janji, jangan bilang siapa-siapa, kalau soal hujan, cahaya bulan, bintang, matahari, mereka sudah aku ancam kalau kalau sampai berani membeberkan rahasiaku dengan Mu, nanti.
Oh Tuhan, Kau mengerti maksudku kan? Iya. Kemarilah, terserah Kau saja mau terjun bebas bersama hujan, atau menumpang burung sriti yang setiap senja berterbangan di atap rumahku, asal cepat sampai sini. Aku sudah lelah menunggu, make up baruku juga ikut luntur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar