Jumat, 05 Oktober 2018

Wonderwall

 
Siapa pun pasti punya satu lagu yang selalu ada di playlist favorit, meski puluhan kali ganti hape, lagu itu terus disimpan, dipindahkan dari hape lama ke yang baru, lalu ganti hape lagi, dan dipindahkan lagi. Saya punya satu lagu itu. Wonderwall.

Wonder; bertanya-tanya. Wall; dinding.
Wonderwall -menurut saya, karena tidak pernah menemukan arti lugasnya di kamus- sesuatu yang membuatmu selalu bertanya-tanya dan memenuhi dinding-dinding pikiranmu.

Beberapa tahun lalu, saya pernah piknik. Piknik mengunjungi pikiran saya sendiri. Lanskap hutan lebat dengan mayoritas hijau tua dari dedaunan hingga batu yang berselimut lumut. Sesekali sinar matahari menembus celah-celah pohon memantulkan cahaya pada embun pagi. Terdengar suara daun bergesekan satu sama lain digerakkan angin. Saya bisa duduk di bawah pohon besar dan menghirup nafas dalam, sambil tersenyum saya berkata "tempat ini damai, pikiran saya tenang".

Kemarin, saya piknik lagi, berkunjung ke pikiran saya sendiri -lagi. Berkemas beberapa jam sebelum berangkat, pergi mengendap-endap, takut ketahuan Ibu, katanya saya sering over-thinking belakangan ini. Sesampainya, bukan lagi lanskap hutan hijau, melainkan saya berada di sebuah ruangan seperti galeri seni. Cahaya matahari yang menyelinap di antara celah pohon digantikan lampu-lampu berkilauan yang diimpor mahal. Suara perempuan yang mirip dengan suara saya mengucapkan banyak hal yang belum sempat saya pahami ternyata mampu menggantikan suara gesekan dedaunan yang digerakkan angin kala itu. Saya yakin tidak salah jalan. Ini benar pikiran saya. Tapi kenapa lanskap berganti. Ada apa ini.

Ternyata, lanskap pikiran saya berubah sesaat setelah saya bertemu kamu. Ruangan itu seperti galeri seni, di setiap dindingnya dipamerkan foto-fotomu. Ya, dinding-dinding pikiran saya penuh dengan rupamu. Foto saat kamu tertawa terbahak dengan gigi geraham berlubang terlihat jelas, dan pupil mata yang melebar. Atau foto saat kamu berjalan di koridor, sungguh di antara lautan manusia saya akan tetap mencarimu, menemukanmu pertama kali. Foto yang dipajang di dinding itu paling banyak diambil dari foto-foto media sosialmu sebagai satu-satunya tempat saya bisa melihatmu setiap saat. Tapi di antara semua foto itu, ada satu foto dengan resolusi tinggi dicetak besar digantung pada dinding utama, yaitu foto kita berdua di depan masjid selepas bimbingan siang itu, katanya foto yang berada pada dinding utama adalah hal yang paling sering dikhawatirkan, hal yang membuat sedih dan bahagia di waktu bersamaan.

Khawatir. Itu adalah benang merah yang dapat saya tarik kesimpulan dari arti Wonderwall bagi saya sendiri. Karena khawatir, maka dinding-dinding pikiran saya dipenuhi oleh segala pertanyaan tentangmu.

"Apa kabar?"
"Bagaimana jika kamu sedang tidak baik-baik saja?"
"Di mana kamu sekarang?"
"Siapa yang sedang kamu pikirkan?"
"Mengapa memberi syarat-syarat yang tak mampu saya tembus?"
Dan ..... "Kapan bertemu lagi?"

There was many things that I would like to say to you
But I don't know how
Because maybe, you're gonna be the one that saves me
And after all, you're my wonderwall

Dan setelah semua yang terjadi, njenengan tetap menjadi yang-saya-khawatirkan, Pak.

Kamis, 04 Oktober 2018

Semesta


Saya pandai menceritakan benda-benda langit. Mulai dari yang sederhana seperti bintang, bulan, matahari, sampai istilah god's particle, black hole, worm hole, atau sekedar bercerita kenapa hanya planet saturnus yang punya cincin atau kenapa galaksi kita disebut galaksi bima sakti. Itulah semesta bagi manusia.

2012, Jumat pukul 13.00
Saya melihat semesta, bukan di film, untuk pertama kalinya. Manusia dengan mata berkilauan seperti Komet Halley 1/P yang melewati bumi setiap 76 tahun sekali, mata yang selalu menatap ke bawah, mata yang tidak pernah melihat mata-mata yang lain, pancarannya yang tak pernah kau bagikan. Dengan kulit gelap seperti malam ini dan setiap malam. Tarikan nafasmu berat, terdengar seperti luar angkasa yang sunyi, menakutkan tapi aku tenang berada di sana.

Perkenalan singkat membuat telapak tanganmu terlihat begitu jelas, susunan galaksi bima sakti berbaris berhimpitan, betapa benda langit pun berebut untuk berotasi di garis tanganmu. Kalimat yang muncul memercikkan partikel atom bermuatan positif. Saya tau, betapa dirimu selalu proton, betapa diri saya selalu neutron. Lalu kau membuat simpul senyum, dan mendadak teori gravitasi yang menghabiskan belasan tahun dari hidup Isaac Newton menjadi tidak berguna dalam hitungan detik. Inikah black hole yang bisa membuat manusia menggunakan jalan pintas menuju dimensi lain? Lalu mengapa semua astronot itu bingung? Sementara saya, sedang berhadapan langsung dengan jalan pintas menuju dimensi kebahagiaan itu; njenengan, Pak.

Itulah semesta bagi saya. Dinamis.
Saya tidak pernah mampu menggapai keindahan-keindahan itu.

Teruntuk anak lanang bungsu pemilik rumah bewarna hijau menghadap hutan pohon jati dengan jendela kayu untuk mengintip halaman penuh rumput; bagi semesta kau hanyalah seseorang, tapi bagi seseorang, kau adalah semestanya.