Kamis, 04 Oktober 2018

Semesta


Saya pandai menceritakan benda-benda langit. Mulai dari yang sederhana seperti bintang, bulan, matahari, sampai istilah god's particle, black hole, worm hole, atau sekedar bercerita kenapa hanya planet saturnus yang punya cincin atau kenapa galaksi kita disebut galaksi bima sakti. Itulah semesta bagi manusia.

2012, Jumat pukul 13.00
Saya melihat semesta, bukan di film, untuk pertama kalinya. Manusia dengan mata berkilauan seperti Komet Halley 1/P yang melewati bumi setiap 76 tahun sekali, mata yang selalu menatap ke bawah, mata yang tidak pernah melihat mata-mata yang lain, pancarannya yang tak pernah kau bagikan. Dengan kulit gelap seperti malam ini dan setiap malam. Tarikan nafasmu berat, terdengar seperti luar angkasa yang sunyi, menakutkan tapi aku tenang berada di sana.

Perkenalan singkat membuat telapak tanganmu terlihat begitu jelas, susunan galaksi bima sakti berbaris berhimpitan, betapa benda langit pun berebut untuk berotasi di garis tanganmu. Kalimat yang muncul memercikkan partikel atom bermuatan positif. Saya tau, betapa dirimu selalu proton, betapa diri saya selalu neutron. Lalu kau membuat simpul senyum, dan mendadak teori gravitasi yang menghabiskan belasan tahun dari hidup Isaac Newton menjadi tidak berguna dalam hitungan detik. Inikah black hole yang bisa membuat manusia menggunakan jalan pintas menuju dimensi lain? Lalu mengapa semua astronot itu bingung? Sementara saya, sedang berhadapan langsung dengan jalan pintas menuju dimensi kebahagiaan itu; njenengan, Pak.

Itulah semesta bagi saya. Dinamis.
Saya tidak pernah mampu menggapai keindahan-keindahan itu.

Teruntuk anak lanang bungsu pemilik rumah bewarna hijau menghadap hutan pohon jati dengan jendela kayu untuk mengintip halaman penuh rumput; bagi semesta kau hanyalah seseorang, tapi bagi seseorang, kau adalah semestanya.


2 komentar: