Kamis, 26 Agustus 2021

Memelihara Kupu-Kupu

Aku punya kerabat jauh, jauh sekali sepertinya sampai aku sulit menjelaskan hubungan kami berasal dari siapa yang ditarik dengan garis keturnan yang mana. Dia sangat terkenal sebagai peternak kupu-kupu. Suatu kali, aku berkunjung ke sana. Melihat rumah kayu jati besarnya, kendaraan bagusnya, meja makan berbentuk lingkaran yang penuh makanan, kolam renang dengan tegel biru dan air yang jernih, halaman rumput luas, kebun kecilnya dengan pohon-pohon yang tidak pernah berhenti berbuah, apalagi disana udara dan anginnya sejuk semilir khas pedesaan di kaki gunung. Dia seperti sudah punya segalanya, dia seperti bisa melakukan apapun, kecuali bahagia.

Dia mengajakku berkeliling, sampai pada tepat jantung rumahnya, ada rumah kaca berisi banyak kupu-kupu. Besar sekali, bisa dibayangkan bangunan ini hampir seluas lapangan bola dikelilingi dinding kaca dan penuh dengan kupu-kupu cantik warna-warni. Pantas seluruh kota berbisik-bisik membicarakannya. “Kenapa sih dia sampai harus beternak kupu-kupu sebanyak itu?” “Apa dia ga pernah kepikiran buat melepaskan kupu-kupunya sedikit demi sedikit?” “Kupu-kupu itu lepas juga dia ga akan rugi, toh udah punya semuanya” “Ah udah lah, kalau rumah kacanya retak kan dia juga yang bingung” “Buat apa juga beternak banyak kupu-kupu kalau tidak bahagia”.

Rasanya belakangan ini ‘tertawa’ menjadi kata tabu untuk diucapkan di hadapannya. Bahkan, kabar kemurungannya sudah tersebar sampai kota sebelah. Orang-orang berkali sudah mengingatkan. Memang sih, satu atau dua kupu-kupu nampak indah, tapi kalau sudah bertahun-tahun dipelihara dan hampir membuat meledak rumah kaca ya jelas lah dia yang egois itu sekarang tidak tau harus bagaimana.

Aku, yang juga memelihara kupu-kupu di dalam dada, juga tidak tau harus bagaimana.

Berawal dari hari itu, melihatmu sekilas dan tersenyum, satu kupu-kupu tumbuh di perutku. Sampai di rumah aku lanjut cari tau tentangmu pakai handphone Blackberry yang sinyalnya mentok di Edge, lalu satu kupu-kupu tumbuh lagi. Besoknya, aku berangkat pakai parfum yang banyak sekali, di jalan membuat skenario harus menyapamu pakai bahasa apa ya hmm, dan tidak terasa belasan kupu-kupu tumbuh sembari aku menunggumu lewat di koridor pagi itu. Semakin lama tau, semakin banyak oku memelihara kupu-kupu dari perut yang berterbangan sampai menggelitik dada. Bikin senyam-senyum, geli. Iya, mencintaimu terasa memelihara banyak kupu-kupu di dalam dada. Menahun, terus aku pelihara.

“Kenapa sih kamu pelihara kupu-kupu sebanyak itu di dadamu, sudah bertahun-tahun loh?” “Pernah kepikiran ga sih buat ngelepasin satu per satu kupu-kupu itu?” — aku yang egois ini juga tidak tau sekarang harus bagaimana.

You made butterflies grow in my lungs, even though they are beautiful… I can’t breath.